|
CEGAH STUNTING DARI DINI:
UPAYA MEWUJUDKAN GENERASI MUDA YANG
TANGGUH
Tahukah Bunda…..Apa
itu Stunting?
·
Beberapa definisi terkait Stunting dapat kita
lihat antara lain:
·
Menurut UNICEF dalam Kemenkes RI (2018),
Stunting adalah persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi
badan di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting
kronis). Hal ini diukur dengan menggunakan standar pertumbuhan anak yang
dikeluarkan oleh WHO.
·
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak
berusia dibawah lima tahun (balita) akibat kekurangan asupan gizi kronis dan
infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK),
yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan (Kemenkes RI, 2018).
·
Stunting adalah status gizi yang didasarkan
pada parameter Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U), hasil pengukuran antropometri berdasarkan parameter tersebut
dibandingkan dengan standar baku WHO untuk menentukan anak tergolong pendek
(<-2 SD) atau sangat pendek (<-3 SD) (Kemenkes RI, 2016).
·
Stunting adalah permasalahan gizi kronis yang
disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam rentang yang cukup lama. Hal ini terjadi
karena asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi (Millennium
Challenge Account, 2014).
·
Stunting adalah keadaan dimana tubuh anak
lebih pendek dibandingkan dengan anak-anak lain seumurnya (UNICEF, 2013).
·
Stunting adalah gangguan tumbuh kembang yang
dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial
yang tidak memadai. Anak-anak dapat didefinisikan terkena stunting jika
tinggi badan anak untuk rata-rata normal usianya lebih dari dua deviasi
standar di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO atau jika tinggi badannya
hanya sekitar 8,5-11,75 cm (WHO, 2006).
APA PENYEBAB STUNTING PADA ANAK ?
Stunting pada
anak disebabkan beberapa faktor, baik faktor langsung maupun tidak langsung
(BAPPENAS (2013). Adapun faktor-faktor penyebab stunting tersebut antara lain:
1. Faktor ibu
Faktor ibu
dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama prekonsepsi, kehamilan, dan
laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu seperti usia ibu terlalu
muda atau terlalu tua, pendek, infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa, BBLR,
IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat, dan hipertensi.
2. Asupan gizi balita
Asupan gizi
yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh
balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan mengalami tumbuh
kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi sebelumnya
masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat melakukan
tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya.
3. Penyakit infeksi
Penyakit
infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting. Anak balita
dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Penyakit
infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya
dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas
lingkungan hidup dan perilaku sehat.
4. Faktor Genetik
Faktor genetik
merupakan modal dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui genetik yang
berada di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan
kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan
pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas
dan berhentinya pertumbuhan tulang.
5. Pemberian ASI Eksklusif
Masalah-masalah
terkait praktik pemberian ASI meliputi Delayed Initiation, tidak menerapkan
ASI eksklusif dan penghentian dini konsumsi ASI. Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk
mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat makanan
pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan.
Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan
terhadap asupan nutrisi penting pada bayi.
6. Pengetahuan gizi ibu
Pengetahuan
gizi yang rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang baik pada
keluarga maupun masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya mengetahui gizi
tetapi harus mengerti dan mau berbuat. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang tentang kebutuhan akan zat-zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan
jenis bahan makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi merupakan salah satu
faktor yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi. Ibu
yang cukup pengetahuan gizinya akan memperhatikan kebutuhan gizi anaknya agar
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
7. Tingkat Pendidikan
Pendidikan ibu
yang rendah dapat mempengaruhi pola asuh dan perawatan anak. Selain itu juga
berpengaruh dalam pemilihan dan cara penyajian makanan yang akan dikonsumsi
oleh anaknya. Penyediaan bahan dan menu makan yang tepat untuk balita dalam
upaya peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai tingkat
pengetahuan gizi yang baik. Ibu dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit
menyerap informasi gizi sehingga anak dapat berisiko mengalami stunting.
8. Ketersediaan pangan
Ketersediaan
pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan asupan nutrisi
dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita
di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat
mengakibatkan balita perempuan dan balita laki-laki Indonesia mempunyai
rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada
standar rujukan WHO.
9. Faktor sosial ekonomi
Status ekonomi
yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan terhadap kemungkinan
anak menjadi kurus dan pendek. Status ekonomi keluarga yang rendah akan
mempengaruhi pemilihan makanan yang dikonsumsinya sehingga biasanya menjadi
kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang
berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin, dan
mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi.
10. Faktor lingkungan
Lingkungan
rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan aktivitas yang tidak adekuat,
penerapan asuhan yang buruk, ketidakamanan pangan, alokasi pangan yang tidak
tepat, rendahnya edukasi pengasuh. Anak-anak yang berasal dari rumah tangga
yang tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik berisiko mengalami
stunting.
APA AKIBAT DARI STUNTING ?
- Anak mengalami pertumbuhan terhambat,
- Anak mengalami perkembangan otak yang tidak
maksimal,
- Akibat jangka panjang: kemampuan mental dan
belajar tidak maksimal, sehingga prestasi belajar buruk, serta tidak mampu
bersaing secara global.
BAGAIMANA CARA PENCEGAHAN STUNTING ?
1. Menurut
Millennium Challenge Account (2014), stunting dapat dicegah dengan
menggunakan beberapa upaya, antara lain adalah sebagai berikut:
2. Pemenuhan
kebutuhan zat gizi ibu hamil. Ibu hamil perlu mendapatkan makanan yang cukup
gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat besi), dan terpantau kesehatannya.
3. ASI
ekslusif sampai dengan usia 6 bulan dan setelah usia 6 bulan diberikan
makanan pendamping ASI (MP ASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya.
4. Memantau
pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya strategis untuk mendeteksi
terjadinya gangguan pertumbuhan.
5. Meningkatkan
akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan
lingkungan. Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan akan memicu gangguan
saluran pencernaan yang membuat energi untuk pertumbuhan akan teralihkan
kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi. Semakin lama menderita infeksi
maka resiko stunting akan semakin meningkat.
Faktor pre-natal yang berkaitan dengan kejadian stunting pada
balita adalah kecukupan konsumsi zat besi selama kehamilan dan status anemia
ibu hamil saat trimester kedua. Sedangkan faktor post-natal yang berkaitan
dengan kejadian stunting adalah pemberian ASI eksklusif pada balita.
Ibu hamil yang mengalami anemia selama trimester kedua, akan melahirkan bayi
dengan kejadian stunting 4,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil
yang tidak mengalami anemia. Selanjutnya balita yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif memiliki kejadian stunting yang 3,75 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif. Konsumsi zat besi
juga sangat menentukan kejadian stunting yang dialami oleh balita,
yaitu ibu yang tidak mengkonsumsi zat besi selama hamil dengan jumlah yang
cukup sesuai anjuran, akan melahirkan balita yang mengalami stunting 3,39
kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang mengkonsumsi zat besi (tablet
FE) sesuai anjuran (Krisnana et al., 2020).
KESIMPULAN
§
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan pada
anak akibat kekurangan asupan gizi kronis yang tercermin dari performans anak
(balita yang menunjukkan grafik pertumbuhan dibawah standar) atau tubuh anak
relatif lebih pendek dibandingkan dengan teman-teman seusianya atau tinggi badan
di bawah rata-rata.
§
Stunting pada anak dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, baik secara langsung maupun tidak langsung.
§
Penekanan angka kejadian stunting yang paling
krusial (pencegahan stunting secara dini) adalah dengan memperhatikan:
1) Masa pre-natal yaitu pemenuhan gizi ibu hamil mulai
dari dalam kandungan. Kebutuhan gizi sangat mempengaruhi perkembangan janin
dalam kandungan termasuk pembentukan organ-organ tubuh secara optimal, dan
upaya pencegahan anemia pada ibu hamil melalui pemberian suplemen zat besi karena
ibu hamil yang mengalami anemia dapat meningkatkan kejadian stunting pada
bayi yang dilahirkan,
2) Masa post-natal yaitu pemberian ASI Eksklusif
pada Balita. Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki kejadian stunting lebih
tinggi dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif.
Sumber
Bappenas. 2013. Pedoman Perencanaan Program
Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama
Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Jakarta: Bappenas.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Situasi Balita
Pendek. Jakarta: Pusat Data dan Infomasi KEMENKES RI.
Kementerian Kesehatan, RI. (2018). Cegah Stunting
dengan Perbaikan Pola Makan, Pola Asuh dan Sanitasi. Jakarta: KEMENKES RI.
Krisnana I, Widiani, NM, Sulistiawati, S. Prenatal
and postnatal factors related to the incidence of stunting in the coastal
area Surabaya, Indonesia. Sri Lanka Journal of Child Health.
2020;49(3):223-229.
Millennium Challenge Account. 2014. Sanitasi dan
Kebersihan untuk Pertumbuhan Anak yang Sempurna. Jakarta: Proyek Kesehatan
& Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Stunting (PKGBM).
UNICEF. 2013. Improving Child Nutrition: The
achievable imperative for global.
World Health Organization. 2006. WHO Child
Growth Standards: length/height for age, weight for age, weight for lenght,
weight for height and bodymass index for age. Geneva: Departement of
Nutrition for Health and Development.
|